Jumat, 19 Juli 2013

Dokumentasi Propaganda AS Dalam Perang Dunia

TEHERAN (Berita SuaraMedia) – Stasiun televisi Iran, Press TV, sedianya akan menyiarkan musim kedua dari War; American Style. Serial dokumenter tersebut menyelidiki keterlibatan AS dalam segala peperangan yang terjadi setelah Perang Dunia II.
Disutradarai oleh Hossein Sharif, film dokumenter tersebut menyoroti mengenai keterlibatan AS dalam perang Vietnam, Perang Dingin, Perang Gurun, Perang di Bosnia, Haiti, Sudan, dan Kosovo. Dan tentunya, penjajahan AS di Afghanistan dan Irak.
War; American Style menyoroti kehadiran lansung para tentara AS dalam perang-perang tersebut dengan alasan memerangi terorisme dan memburu Al-Qaidah. Musim kedua dari serial dokumenter War; American Style terdiri dari 12 episode akan diudarakan pada tanggal 12 Desember 2012. Sementara musim pertama serial dokumenter tersebut hanya terdiri dari 6 episode.
AS telah melakukan berbagai bentuk propaganda dalam setiap peperangan yang diterjuninya. Propaganda tersebut tertuang dalam doktrin yang disebarkan kepada kalangan luas. Setiap orang yang menentang doktrin tersebut akan berada dalam masalah karena menentang doktrin berarti menentang AS.
Masyarakat dalam iklim demokrasi memiliki kebebasan untuk mengemukakan pendapat, oleh karena itu tidak bisa begitu saja dibungkam dengan kekerasan. Untuk kalangan masyarakat seperti ini, pihak penguasa mengendalikan isi dari pendapat masyarakat tersebut, dengan kata lain pemerintah membuat propaganda untuk mengendalikan pemikiran masyarakat.
Salah satunya dengan cara menciptakan perdebatan politik yang seolah-olah menampung banyak pemikiran, namun sejatinya memiliki sekat pembatas yang amat sempit. Harus dipastikan bahwa kedua kubu yang terlibat dalam perdebatan akan menerima asumsi-asumsi tertentu, dan asumsi tersebut didasarkan pada propaganda AS. Sepanjang semua orang menerima propaganda tersebut, maka acara debat seperti apapun akan diberikan ijin.
Perang Vietnam adalah sebuah contoh klasik sistem propaganda AS. Di sejumlah media-media utama AS – New York Times, CBS, dan lain-lain – perang tersebut diperdebatkan secara sengit. Perdebatan tersebut dilakukan oleh dua kubu, sebut saja kubu "merpati" dan kubu "elang". Kubu elang mengatakan, "Jika kita melanjutkan (perang), maka kita akan menang." Kubu merpati mengatakan, "Bahkan jika kita meneruskan peperangan, maka harga yang harus dibayar kelewat mahal, selain itu, kita akan menghilangkan banyak nyawa." Meski berdebat, kedua kubu menyepakati satu hal, bahwa AS memiliki hak untuk melakukan agresi di Vietnam Selatan. Kubu merpati maupun elang sama-sama tidak pernah menyebutkan bahwa AS tengah melakukan invasi. Kedua kubu menyebutkan bahwa kehadiran militer AS di Asia Tenggara adalah untuk mempertahankan Vietnam Selatan. Kelicikan propaganda AS menanamkan kata "mempertahankan" dan membuang jauh-jauh kata "agresi" untuk mencuci otak rakyatnya sendiri dan siapapun yang menjadi pembaca atau pemirsa media-media yang telah dikendalikan AS. Walaupun pada kenyataannya, AS melakukan agresi, menyerbu Vietnam.
Misalnya, pada tahun 1962, angkatan udara AS melakukan serangan langsung dan membombardir masyarakat pedesaan di Vietnam Selatan. Serangan tersebut merupakan bagian dari sebuah program untuk mengenyahkan jutaan penduduk yang kemudian "diungsikan" ke dalam sebuah area yang dibatasi oleh kawat berduri dan para pasukan bersenjata. AS mengatakan bahwa para penduduk akan "dilindungi" dari para gerilyawan yanng mendukung "Viet Cong," cabang sebelah selatan dari gerakan yang dulunya merupakan gerakan pelawanan terhadap Perancis (Vietminh). Pemerintahan Vietnam yang berpusat di Saigon tidak memiliki kekuasaan dan hanya memiliki sedikit dukungan. Kepemimpinan Vietnam kemudian digulingkan dalam sebuah kudeta yang didalangi AS karena AS khawatir jika pihak pemerintah mengadakan kesepakatan dengan Viet Cong. Sekitar 70.000 orang "Viet Cong" telah dibunuh bahkan sebelum AS melakukan invasi pada tahun 1972.
AS menciptakan sebuah pemerintahan boneka di Saigon agar pasukan AS bisa masuk dengan leluasa. Serbuan AS tersebtu murni agresi militer. Namun siapapun di AS yang berpendapat bahwa kebijakan pemerintah AS salah, sama sekali tidak diijinkan untuk masuk dalam diskusi yang membahas perang Vietnam.
Yang sama sekali dihapuskan dalam perdebatan adalah pandangan bahwa AS bersalah karena melakukan agresi militer, pandangan yang dianut oleh berbagai gerakan perdamaian yang amat jarang terdengar di berbagai media utama. Dalam buku sejarah Amerika, jika membuka halaman mengenai perang Vietnam, maka tidak akan ada peristiwa serangan AS ke Vietnam Selatan. Tidak pernah diketemukan satupun referensi mengenai Invasi AS di Vietnam Selatan. Dalam sistem doktrin Amerika, peristiwa semacam itu tidak pernah terjadi dan tidak dituliskan dalam sejarah.
Di AS, masyarakat lebih bebas, mereka dibebaskan untuk mengeekspresikan diri. Itulah mengapa setiap penguasa merasa perlu untuk mengendalikan pemikiran setiap orang.
Propaganda AS berfungsi dengan sempurna di kalangan masyarakat terpelajar, alasannya, kaum terpelajar lebih banyak membaca, oleh karena itu otak mereka menerima lebih banyak propaganda. Alasan lainnya adalah karena mereka bekerja dalam jajaran manajemen, media, dan akademis, oleh karena itu mereka bertindak sebagai agen propaganda tersebut, mereka mempercayai apa yang digariskan oleh sistem.
Di sisi lain, pemerintah AS memiliki masalah dalam mengendalikan pemikiran pepulasi masyarakat umum. Menurut sebuah penelitian, sekitar 70 persen warga AS masih berpendapat bahwa perang tersebut salah dan tidak bermoral. Karena banyaknya orang yang menentang perang Vietnam, maka sistem propaganda AS kehilangan cengkeramannya di masyarakat AS. Masyarakat menjadi skeptis terhadap apapun yang dikatakan oleh pemerintah. Pemerintah AS menyebutnya dengan nama "sindrom Vietnam", sebuah penyakit mematikan di mata kalangan pejabat elit AS karena masyarakat mengetahui terlalu banyak.
Ketika foto-foto para tahanan Irak disiksan dan dianiaya oleh pasukan AS bocor, banyak warga AS yang merasa ngeri, jijik, dan terkejut akan kelakuan para prajurit AS melakukan tindakan yang begitu biadab terhadap masyarakat Irak.
Para pejabat pemerintahan George W. Bush, menginginkan rakyat AS untuk mempercayai bahwa apa yang terjadi di penjara Abu Ghraib hanyalah ulah segelintir oknum militer, padahal fakta yang terjadi di lapangan tidaklah demikian. Penggunaan penyiksaan oleh pemerintah AS telah memiliki jejak sejarah yang panjang di AS dan di luar negeri.
Dalam artikel Bruce Fanklin yang berjudul "The American Prison and the Normalization of Torture" (Penjara Amerika dan Normalisasi Penyiksaan), dituliskan bahwa sistem penjara Amerika berkembang menjadi sebuah institusi sentral masyarakat AS, yang membuat tindak penyiksaan dan penganiayaan sebagai sebuah kegiatan rutin dan bisa diterima. Pernyiksaan fisik, mental, dan seksual di Abu Ghraib adalah makanan sehari-hari bagi dua juta orang yang dikurung di penjara-penjara AS.
Artikel Jane Franklin yang bertajuk "Penjara Guantanamo," mengungkapkan bahwa penjajahan AS di wilayah Kuba sekitar seabad yang lalu adalah untuk mendirikan sebuah penjara. Pada awalnya dipergunakan untuk menahan orang-orang Haiti dan Kuba, kemudian dipergunakan untuk para tahanan "perang melawan teror", basis militer AS telah menjadi sebuah pangkalan penyiksaan yang kemudian diekspor ke Afghanistan dan Irak. (dn/ptv/zp/haw) suaramedia.com

0 komentar:

Posting Komentar