Masih
terngiang di telinga kita, bagaimana pelanggaran kehormatan kaum
muslimin bahkan sampai pada penghalalan jiwa dan harta yang dilakukan
oleh kelompok Khawarij, Islam Jama’ah atau kelompok takfiriyyun lain
yang ada pada jaman sekarang. Sedih dan memilukan memang melihat
fenomena demikian, mengingat pintu-pintu rumah kaum muslimin tak luput
dimasuki oleh para pelanggar kehormatan tersebut.
((أَيما
رجُل قال لِأَخِيْهِ : يَا كَافِرُ, فَقَدْ بَاءَ بِهَا أَحَدُهُمَا ,
فَإِنْ كَانَ كَمَا قَالَ وَ إِلاَّ رَجَعَتْ عَلَيْهِ))
“Apabila
seseorang menyeru kepada saudaranya: Wahai kafir, maka sungguh akan
kembali sebutan kekafiran tersebut kepada salah seorang dari keduanya.
Bila orang yang disebut kafir itu memang kafir adanya maka sebutan itu
pantas untuknya, bila tidak maka sebutan kafir itu kembali kepada
yang mengucapkan.” (Shahih, HR. Al-Bukhari no. 6104 dan Muslim no.60)
Abu Dzar radhiyallahu ‘anhu juga menuturkan hal yang sama dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam:
((مَنْ دَعَا رَجُلاً بِالْكُفْرِ , أَوْ قَالَ : عَدُوَّ اللهِ, وَ لَيْسَ كَذَلِكَ إِلاَّ حَارَ عَلَيْهِ))
“Siapa
yang menyeru kepada seseorang dengan sebutan kekafiran atau ia
mengatakan: Wahai musuh Allah, sementara yang dituduhnya itu tidak
demikian maka sebutan tersebut kembali kepadanya.” (Shahih, HR. Muslim
no. 61)
Di
balik kehormatan kaum muslimin yang dijaga oleh Allah Subhanahu wa
ta’ala dan diharamkan sampai hari kiamat ternyata kehormatan tersebut
dihinakan, dilanggar ketentuannya oleh jiwa- jiwa yang tidak khawatir
akan akibat perbuatannya. Hal ini kita dapati dari jaman dahulu, jaman
salafush shalih, sampai hari ini. Masih terngiang di telinga kita,
bagaimana pelanggaran kehormatan bahkan sampai pada penghalalan jiwa
dan harta yang dilakukan oleh kelompok Khawarij, Islam Jama’ah atau
kelompok takfiriyyun lain yang ada pada jaman sekarang. Sedih dan
memilukan memang melihat fenomena demikian, mengingat pintu-pintu rumah
kaum muslimin tak luput dimasuki oleh para pelanggar kehormatan
tersebut.
Agama
kita yang mulia sama sekali tidak pernah ridha, bahkan berlepas diri
dari pelanggaran kehormatan yang terjadi ini. Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam bersabda:
((
إِنَّ دِمَاءَكُمْ وَ أَمْوَالَكُمْ وَ أعْرَاضَكُمْ حَرَمٌ عَلَيْكُمْ
كَحُرْمَةِ يَوْمِكُمْ هَذَا فِي شَهْرِكُمْ هَذَا فِي بَلَدِكُمْ هَذَا
))
“Sesungguhnya
darah kalian, harta kalian dan kehormatan kalian haram bagi kalian
seperti keharaman negeri ini, bulan ini dan hari ini.” (HR. Al-Bukhari
no. 68 dan Muslim no. 1679)
Jawaban
dari fenomena yang membuat dada terasa sesak ini sangat membutuhkan
perhatian kita untuk kembali kepada hadits Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam yang diriwayatkan oleh Ibnu ‘Umar dan Abu Dzar
radiyallahu ‘anhuma di atas. Kedua hadits tersebut merupakan peringatan
keras untuk tidak menjatuhkan vonis kafir terhadap seorang muslim
(yang sudah sedemikian mudah dan murahnya kalimat ini di mulut sebagian
orang) karena memang permasalahan kekafiran dan keislaman hukumnya
kembali kepada Allah Subhanahu wa ta’ala.
Dialah
yang berhak menghukumi di antara hamba-Nya, siapa yang kafir dan
siapa yang muslim. Sebagaimana penghalalan dan pengharaman juga berada
dalam ketetapan-Nya. Siapa pun tidak diperkenankan menghalalkan apa
yang Allah haramkan dan mengharamkan apa yang Allah halalkan.
Demikian
pula kita tidak boleh mengkafirkan seseorang ketika dia tidak
dihukumi kafir dengan hukum Allah dan tidak menyatakan keislaman
seseorang ketika dia tidak termasuk sebagai seorang muslim ketika
ditimbang dengan hukum Allah.
Siapa
saja yang telah dipastikan keislamannya maka ia tidak boleh
difasikkan dan dikafirkan ataupun dikeluarkan dari agama Allah kecuali
dengan bukti yang menunjukkan kekufuran dan keluarnya dia dari agama
Allah dengan jelas, dan didapati darinya syarat-syarat pengkufuran,
dan hilang darinya penghalang demi penghalang yang membuat jatuhnya
vonis kafir padanya. Dan tentunya yang bisa melihat permasalahan ini
hanyalah para ulama dari kalangan ahli fatwa.
Asy-Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata: “Orang yang duduk di
majelisku tahu bahwa aku termasuk orang yang paling besar pelarangannya
dari (perbuatan) menyandarkan kekafiran, kefasikan dan kemasiatan
kepada orang tertentu, kecuali bila diketahui telah tegak hujjah
kepadanya yang jika diselisihi seseorang (maka ia) bisa jadi kafir,
bisa jadi fasik atau bisa jadi pelaku maksiat.” (Lihat Majmu’ Fatawa,
3/229)
Asy-Syaikh
Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di rahimahullah berkata: “Pengkafiran
itu adalah hak Allah dan Rasul-Nya. Oleh karena itu tidaklah seseorang
itu kafir kecuali orang yang dikafirkan oleh Allah dan Rasul-Nya.”
(Irsyad Ulil Abshar wal Albab linail Fiqh Biaqrabith Thuruq wa Aysarul
Asbab, hal. 198)
Hukuman bagi orang yang mengkafirkan
Asy-Syaikh
Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah berkata: “Tidak boleh bermudah-mudah
dalam mengkafirkan seseorang karena hal ini akan berdampak atau
berakibat kepada dua perkara yang besar:
Pertama,
mengadakan kedustaan terhadap Allah ta`ala di dalam hukum, di mana
dia menghukumi kafir terhadap orang yang tidak dihukumi kafir oleh
Allah ta`ala. Hal ini sama keadaannya dengan orang yang mengharamkan
apa yang Allah halalkan, karena menghukumi kafir tidaknya seseorang
hanya berada di tangan Allah saja sebagaimana hukum halal dan haram
hanya berada di tangan Allah.
Kedua,
mengadakan kedustaan terhadap orang yang dihukumi kafir tersebut
dengan sifat yang dituduhkan kepadanya, di mana ia mensifati seorang
muslim dengan sifat yang berlawanan dengan keadaan sebenarnya. Ia
mengatakan: dia kafir, padahal orang ini berlepas diri dari kekafiran,
sehingga pantaslah sifat kekafiran itu dikembalikan padanya (orang
yang menuduh) berdasarkan hadits di dalam Shahih Muslim dari Abdullah
bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam
bersabda:
((إِذَاكفّر الرَّجُلُ أّخَاهُ فَقَدْ بَاءَ بِهَا أَحَدُهُمَا))
“Apabila
seseorang mengkafirkan saudaranya maka sungguh akan kembali sebutan
kekafiran tersebut kepada salah seorang dari keduanya.”
Dalam satu riwayat:
((إِنْ كَانَ كَمَا قَالَ وَ إِلاَّ رَجَعَتْ عَلَيْهِ))
“Bila
orang yang disebut kafir itu memang kafir adanya maka sebutan itu
pantas untuknya, bila tidak maka sebutan kafir itu kembali kepada yang
mengucapkan.”
Masih dalam riwayat Muslim dari hadits Abu Dzar radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
((مَنْ دَعَا رَجُلاً بِالْكُفْرِ , أَوْ قَالَ : عَدُوَّ اللهِ, وَ لَيْسَ كَذَلِكَ إِلاَّ حَارَ عَلَيْهِ))
“Siapa
yang menyeru kepada seseorang dengan sebutan kekafiran atau ia
mengatakan: ‘Wahai musuh Allah’, sementara orang yang dituduhnya itu
tidak demikian maka sebutan tersebut kembali kepadanya.”
Sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dalam hadits Ibnu ‘Umar:
((إِنْ كَانَ كَمَا قَالَ))
“Bila orang tersebut memang kafir keadaannya,” (yakni) sesuai dengan hukum Allah.
Demikian pula ucapan beliau dalam hadits Abu Dzar:
وَ لَيْسَ كَذَلِكَ))
“Sementara orang yang dituduhnya itu tidaklah demikian,” (yakni bila ditimbang dengan) hukum Allah ta`ala.
Pensifatan
kekufuran itu kembali kepadanya bila saudaranya itu terlepas dari
tuduhan tersebut. Dan dikhawatirkan sekali ia terjatuh padanya. Karena
kebanyakan orang yang begitu bersegera mensifatkan seorang muslim itu
kafir merasa bangga dengan amalannya dan memandang remeh amalan orang
lain, hingga akhirnya tergabunglah dengannya antara sifat ujub atas
amalannya yang terkadang akan mengantarkan pada batalnya amalannya
tersebut dan sifat sombong yang menyebabkan ia diazab oleh Allah ta`ala
di dalam api neraka.
Sebagaimana
datang dalam hadits yang dikeluarkan oleh Al-Imam Ahmad dan Abu Dawud
dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwa Nabi shallallahu alaihi
wasallam bersabda:
((
قَالَ الله عَزَّ وَ جَلَّ : اَلْكِبْرِيَاءُ رِدَائِي وَ الْعَظَمَةُ
إِزَارِي, فَمَنْ نَازَعَنِي وَاحِدًا مِنْهُمَا قَذَفْتُهُ فِي
النَّارِ))
“Allah
Azza wa Jalla berfirman: Kesombongan itu adalah pakaian-Ku dan
keagungan itu adalah kain-Ku maka siapa yang menentang-Ku pada salah
satu dari keduanya niscaya akan Aku campakkan dia ke dalam
neraka.”(Syarhu Kasyfisy Syubuhat, hal. 41-42)
Tidak
diragukan lagi, orang yang suka mengkafirkan kaum muslimin maka
mereka sendirilah yang kafir, karena Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam
mengabarkan bahwa bila seseorang mengatakan kepada saudaranya sesama
kaum muslimin: “Wahai kafir”, maka kekafiran itu mesti akan kembali
kepada salah seorang dari keduanya. Bila memang orang yang dituduh
kafir itu sebagaimana kenyataannya maka ia memang kafir, bila tidak
maka yang kafir adalah pengucapnya, na’udzubillah.
Karena
itu wajib bagi seseorang untuk membersihkan lisan dan hatinya dari
mengkafirkan muslimin, jangan ia berbicara dengan perkataan: “Dia
kafir.” Dan jangan pula ia meyakini dalam hatinya bahwa seseorang itu
kafir semata-mata karena hawa nafsu. Hukum pengkafiran bukan berada di
tangan si Zaid, bukan pula di tangan si ‘Amr akan tetapi yang berhak
dalam hal ini hanyalah Allah dan Rasul-Nya.
Siapa
yang dikafirkan Allah dan Rasul-Nya maka ia memang kafir walaupun
kita mengatakan dia muslim. Sebaliknya, siapa yang tidak dikafirkan
oleh Allah dan Rasul-Nya maka ia tidak kafir walaupun orang mengatakan
ia kafir.
Oleh
karena itu kita katakan terhadap orang yang mengucapkan, “Wahai
kafir,” “Wahai musuh Allah,” kalau memang demikian keadaannya, maka
dia seperti yang dikatakan. Namun apabila tidak demikan, maka (ucapan
itu) kembali kepada si pengucap, dialah yang kafir, wal ‘iyadzu
billah. Dengan demikian ucapan ini termasuk dosa besar bila orang yang
dikatakan kafir itu tidaklah demikian keadaannya. (Syarhu Riyadhush
Shalihin, Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin, 4/376)
Al-Hafidz Ibnu Hajar rahimahullah ketika menjelaskan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam:
((لاَ
يَرْمِي رَجُلٌ رَجُلاً بِفُسُوْقٍ, وَ لاَ يَرْمِيْهِ بِالْكُفْرِ
إِلاَّ ارْتَدت عَلَيْهِ, إِنْ لَمْ يَكُنْ صَاحِبُهُ كَذَلِك))
“Tidaklah
seseorang menuduh orang lain fasik dan tidak pula ia menuduh orang
lain dengan kekafiran kecuali sebutan itu akan kembali kepadanya,
apabila orang yang dituduhkan tidak demikian keadaannya.” (HR.
Al-Bukhari no. 6045)
Beliau
menyatakan: “Hadits ini mengandung konsekuensi bahwa siapa yang
mengatakan kepada orang lain, “Engkau fasik,” atau “Engkau kafir,”
sementara orang yang dicela tersebut tidak seperti yang dikatakan si
pencela maka si pencela itulah yang berhak untuk mendapatkan sifat yang
ia sebutkan (fasik atau kafir). Namun bila memang orang tersebut
seperti yang ia katakan, maka tidak kembali sesuatu pun kepadanya
karena ia benar dalam ucapannya. Namun, walaupun perkataan itu tidak
dikembalikan padanya, apakah ia kafir atau fasik, bukan berarti dia
tidak berdosa dengan penggambarannya terhadap seseorang: “Engkau
fasik.” Di dalam permasalahan ini perlu perincian.
-
Bila ia berucap dengan tujuan menasehati orang tersebut atau
menasehati orang selainnya dengan menerangkan keadaannya maka hal ini
dibolehkan.
-
Bila tujuannya untuk mencela, memasyhurkannya dengan sebutan demikian
dan semata hendak menyakiti maka hal ini tidak dibolehkan karena ia
diperintah untuk menutup aib orang lain, mengajari dan menasehatinya
dengan cara yang baik. Bila memungkinkan baginya untuk menasehati
dengan cara yang lembut maka ia tidak boleh melakukannya dengan
kekerasan dan kekakuan, karena hal itu dapat menyebabkan orang tersebut
menjadi keras kepala dan terus menerus dalam perbuatannya sebagaimana
hal ini merupakan tabiat kebanyakan manusia. Terlebih bila orang yang
memerintahkan (menasehati) itu derajatnya lebih rendah daripada orang
yang dinasehati. (Fathul Bari, 10/480-481)
Apabila
ada seorang yang berkata, “Bagaimana bisa perkataan kafir itu
dikembalikan kepadanya dalam keadaan ia mengkafirkan seseorang karena
kecemburuannya terhadap agama Allah?” Jawabannya: Dia kafir karena dia
menjadikan dirinya sebagai penetap syariat bersama Allah. Dia
mengkafirkan orang itu sementara Allah tidak mengkafirkannya, dengan
(perbuatan itu) dia mengangkat dirinya sebagai tandingan bagi Allah
dalam pengkafiran saudaranya. Di sisi lain, Allah akan menutup hatinya
hingga akhirnya ia akan kafir kepada Allah dengan kekafiran yang nyata
dan jelas.” (Fitnatut Takfir, hal. 43-44)
Konsekuensi Bagi Orang yang Dihukumi Kafir
Mudahnya
vonis pengkafiran itu dijatuhkan kepada seseorang adalah permasalahan
yang sangat berbahaya. Maka kita perlu melihat kerusakan yang terjadi
yang membuka sekian banyak pintu kejelekan terhadap umat ini, yang
melazimkan orang yang dituduh kafir sebagai berikut:
1.
Tidak halal bagi istrinya (pasangan orang yang dituduh kafir
tersebut) untuk tetap dalam ikatan pernikahan bersama suaminya.
Sehingga wajib untuk memisahkan keduanya, karena seorang muslimah
tidak boleh diperistri oleh orang kafir dengan ijma’ yang tidak
diragukan lagi.
2.
Tidak halal bagi anak-anaknya untuk tetap di bawah penguasaannya
karena keberadaan mereka tidak aman berada di sisinya dan
dikhawatirkan mereka akan terpengaruh dengan kekufurannya.
3.
Orang ini kehilangan hak untuk medapatkan loyalitas (al-wala) dan
pertolongan dari masyarakat Islam setelah ia memisahkan diri dari Islam
dan keluar dengan kekufuran serta kemurtadan yang jelas. Diputuskan
hubungan dengannya dan ia diboikot sampai ia kembali kepada Islam.
4.
Orang ini wajib diperhadapkan kepada hakim agama untuk dihukumi
murtad setelah ia diminta untuk bertaubat dan setelah hilang syubhat
padanya serta telah ditegakkan hujjah padanya.
5.
Bila orang ini meninggal dunia tidak diberlakukan padanya hukum
Islam, maka ia tidak dimandikan, tidak dishalati, tidak dikuburkan di
kuburan kaum muslimin dan tidak diwarisi hartanya sebagaimana ia tidak
berhak mewarisi harta keluarganya.
6.
Bila ia mati dalam keadaan kafir ia pantas mendapatkan laknat Allah,
dijauhkan dari rahmat- Nya dan kekal abadi di dalam neraka.
7. Ia tidak didoakan dengan rahmat, dan tidak dimintakan ampun karena Allah ta`ala berfirman kepada Nabi-Nya:
(ARAB)
“Tidak
pantas bagi Nabi dan orang-orang yang beriman untuk memintakan ampun
terhadap orang-orang musyrik walaupun orang musyrik yang meninggal itu
adalah karib kerabatnya setelah jelas bagi kaum muslimin bahwa
kerabatnya yang kafir itu adalah penghuni neraka jahim.” (At- Taubah:
113)
(Secara ringkas dari Qadhiyatut Takfir Baina Ahlis Sunnah wa Firaqidh Dhalal, hal. 19-20)
Penghukuman dengan Pengkafiran
Madzhab
Ahlus Sunnah wal Jamaah dalam hal ini adalah madzhab yang
pertengahan, tidak berlebih-lebihan dan tidak bermudah-mudahan
terhadap penghukuman ahlul iman sebagaimana Khawarij dan yang sejalan
dengannya yang berlebih-lebihan dalam mengkafirkan, atau sebagaimana
Murjiah yang bermudah-mudahan menetapkan keimanan yang sempurna pada
ahlul iman walaupun berbuat maksiat. Aqidah Ahlus Sunnah wal Jamaah
dalam masalah ini dapat kita lihat dalam ucapan Al-Imam Ath-Thahawi
rahimahullah berikut ini:
“Kita
tidak mengkafirkan ahlul kiblat karena satu dosa yang diperbuatnya
selama ia tidak menghalalkan perbuatan tersebut, dan kita tidak
mengatakan perbuatan dosa itu tidak bermudharat terhadap keimanan. Kita
berharap orang-orang yang berbuat baik dari kalangan mukminin agar
Allah memaafkan mereka dan memasukkan mereka ke dalam jannah (surga)
dengan rahmat-Nya, dan kita tidak merasa aman terhadap mereka dari
makar Allah dan kita tidak mempersaksikan surga bagi mereka. Kita
mintakan ampun terhadap kesalahan mereka dan kita takut mereka akan
mendapat hukuman karena dosa mereka, namun kita tidak putus asa dari
rahmat Allah terhadap mereka. Merasa aman dari makar Allah dan putus
asa dari rahmat-Nya, keduanya akan memindahkan dari agama Islam
sedangkan jalan yang haq berada di antara keduanya bagi ahlul kiblat.”
(Al-’Aqidah Ath-Thahawiyyah Syarhun wa Ta’liq Al-Imam Al-Albani, hal.
60-62)
Berkata
Ibnu Qudamah Al-Maqdisi: “Kita tidak mengkafirkan seorang pun dari
ahlul kiblat karena suatu dosa dan kita tidak mengeluarkan dari Islam
seorang pun dari mereka karena melakukan amalan tersebut (amalan
dosa).” (Lum’atul I’tiqad ma’a Syarhin, hal. 47)
Namun
yang perlu kita ketahui, agama ini punya patokan-patokan (dhawabith)
yang dengan patokan tersebut agama ini menghukumi seseorang itu kafir
atau tidak. Bukan berarti agama ini tidak mengkafirkan orang-orang
yang memang berhak untuk dikafirkan. Tentunya pengkafiran ini kembali
kepda patokan tersebut, dan patokan yang kita maksud adalah apa yang
dikatakan oleh ahlul ilmi berupa adanya syarat-syarat (syuruth)
pengkafiran (pada orang yang dikafirkan) dan hilangnya
pencegah-pencegah dikeluarkannya seseorang dari keislaman (mawani’).
Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata: “Pengkafiran itu memiliki
syarat-syarat dan mawani’ yang terkadang mawani’ itu hilang pada diri
seseorang.” (Majmu’ Fatawa, 12/487)
Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin rahimahullah berkata: “Hukum mengkafirkan butuh dua perkara penting:
Pertama,
adanya dalil yang menunjukkan bahwa perbuatan tersebut adalah
perbuatan kufur yang mengeluarkan pelakunya dari Islam. Karena di dalam
nash terkadang disebutkan secara mutlak bahwa perbuatan itu kufur
namun kufurnya tidak mengeluarkan dari Islam, sehingga harus diketahui
dengan pasti bahwa nash itu menunjukkan amalan tersebut kufur, atau
bila meninggalkan suatu amalan akan membuat pelakunya kufur keluar dari
Islam.
Kedua,
dalil tersebut pantas diterapkan kepada orang yang melakukan
perbuatan kufur tersebut, karena tidaklah semua pelaku amalan
kekufuran langsung divonis kafir sebagaimana ditunjukkan hal ini dalam
Al-Qur’an dan As-Sunnah.” (Fitnatut Takfir, hal. 41)
Di
antara salah satu permisalannya, ada orang yang dipaksa untuk sujud
kepada patung, sehingga karena paksaan dan di bawah tekanan ia pun
sujud. Perbuatannya merupakan perbuatan kufur namun karena orang ini
melakukannya dengan terpaksa, maka ia tidak bisa dikafirkan. Bukankah
Allah ta`ala berfirman:
“Siapa
yang kafir kepada Allah setelah keimanannya, kecuali orang yang
dipaksa untuk berbuat/berucap kekufuran sementara hatinya tenang dalam
keimanan , akan tetapi siapa yang melapangkan dadanya melakukan
kekafiran maka mereka mendapatkan kemurkaan Allah dan untuk mereka azab
yang besar.” (An-Nahl: 106)
Mawani’
-sebagaimana dijelaskan dengan nash oleh ahlul ilmi– jumlahnya
banyak, sehingga perlu kita camkan bahwa Ahlus Sunnah wal Jamaah tidak
mengkafirkan seorang muslim karena berbuat dosa besar yang
diperbuatnya -selain syirik- seperti membunuh, minum khamr, berzina,
mencuri, makan harta anak yatim, menuduh wanita yang baik-baik
berzina, makan riba dan semisalnya. Akan tetapi waliyyul amr
(penguasa) menegakkan hukuman terhadap pelaku dosa besar tersebut
berupa hukum qishash, had atau ta’zir dan wajib pelaku dosa besar itu
untuk bertaubat dan beristighfar. (Fatawa Lajnah Daimah no. 5003)
Penyebab Kekufuran
Al-Imam
Syaikhul Islam Asy-Syaikh Abdul ‘Aziz bin Abdillah bin Baz
rahimahullah berkata: “Aqidah Islamiyyah ini dapat dicacati oleh
beberapa perkara. Dan perkara-perkara yang mencacati ini terbagi dua.
Pertama, jenis yang membatalkan aqidah Islamiyyah sehingga pelakunya kafir, na’udzubillah min dzalik.
Kedua, jenis yang mengurangi dan melemahkan aqidah Islamiyyah.
Jenis
pertama dinamakan pembatal-pembatal keislaman yang berakibatkan
kepada kemurtadan. Pembatal ini bisa berupa ucapan, perbuatan,
keyakinan (i’tiqad) dan syak (ragu terhadap agama atau prinsip-prinsip
agama).
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah bersabda:
(( مَنْ بَدَّلَ دِيْنَهُ فَاقْتُلُوْهُ ))
“Siapa yang mengganti agamanya (murtad) maka bunuhlah dia.” (HR. Al-Bukhari dalam Shahih- nya)
Hadits
di atas menunjukkan bahwa orang yang murtad diminta agar mau
bertaubat. Bila ia enggan maka dibunuh dan disegerakan baginya menuju
neraka.
Murtad karena Ucapan (Riddah Qauliyyah)
Ucapan
yang dapat memurtadkan pelakunya, di antaranya mencela Allah, mencela
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, menyandarkan keaiban kepada
Allah seperti mengatakan Allah itu fakir, atau Allah dzalim, atau
menyatakan Allah bakhil, Allah tidak mengetahui sebagian perkara, atau
Allah tidak mewajibkan shalat kepada kita. Yang demikian ini pelakunya
murtad dan diminta agar bertaubat, bila tidak maka ia dibunuh.
Murtad karena Perbuatan (Riddah Fi’liyyah)
Adapun
kemurtadan dalam masalah ini seperti meninggalkan shalat, maka
pelakunya kafir berdasarkan sabada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam:
((اَلْعَهْدُ الَّذِي بَْنَنَا وَ بَيْنَهُمْ الصَّلاَةُ, فَمَنْ تَرَكَهَا فَقَدْ كَفَرَ))
“Perjanjian antara kita dan mereka adalah meninggalkan shalat, siapa yang meninggalkannya maka sungguh ia telah kafir.”
Beliau juga menyatakan:
((بَيْنَ الرَّجُلِ وَبَيْنَ الشِّرْكِ وَالْكُفْرِ تَرْكُ الصَّلاةِ))
“Antara seseorang dengan kesyirikan dan kekufuran adalah meninggalkan shalat.”
Termasuk
pula padanya bila seseorang meremehkan Al-Qur’an atau menajisinya
dengan sengaja. Termasuk juga thawaf di kuburan dan mengibadahi pemilik
kuburan tersebut. Inilah riddah fi`liyyah. Namun bila yang
dimaksudkan melakukan ibadah kepada Allah itu hanya dilakukan di sisi
kuburan maka ini adalah bid’ah yang mencacati agama pelakunya dan
tidak teranggap sebagai riddah (pelakunya tidak murtad), namun
termasuk dalam jenis yang kedua, kufrun duna kufrin (amalan kekafiran
yang tidak menyebabkan pelakunya keluar dari Islam). Termasuk pula
riddah fi’liyyah adalah menyembelih untuk selain Allah.
Murtad karena Keyakinan (Riddah ‘Aqadiyyah)
Siapa
yang meyakini dalam hatinya bahwa Allah itu fakir, atau bakhil, atau
Allah dzalim maka ia telah kafir sekalipun ia tidak pernah
mengucapkannya. Atau ia meyakini dengan hatinya bahwa Nabi Muhammad
shallallahu alaihi wasallam itu pendusta, atau di antara para nabi ada
yang pendusta, atau ia meyakini dengan hatinya bahwa tidak apa-apa
beribadah kepada selain Allah. Semua keyakinan ini mengeluarkan
pelakunya dari Islam karena Allah ta`ala berfirman:
(ARAB)
“Yang demikian itu karena Allah adalah Al-Haq sementara apa yang mereka seru selain Allah itu batil.” (Al-Haj: 62)
وَإِلَهُكُمْ إِلَهٌ وَاحِدٌ لآ إِلَهَ إِلاَّ هُوَ الرَّحْمَنُ الرَّحِيْمُ
“Sesembahan
kalian adalah sesembahan yang satu, tidak ada yang berhak disembah
kecuali Dia Yang Maha Pengasih lagi Penyayang.” (Al-Baqarah: 163)
إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِيْنُ
“Hanya kepada-Mu kami beribadah dan hanya kepada-Mu kami memohon pertolongan.” (Al- Fatihah: 5)
Sehingga
siapa saja yang menganggap bahwa boleh beribadah kepada selain Allah
dengan pengucapan lisannya, maka ia kafir dengan pengucapan dan
keyakinannya bersama-sama. Begitupula jika ia melakukan dengan amalan
maka jadilah ia kafir dengan ucapan, amalan dan keyakinan secara
bersama-sama.
Termasuk
pencacat aqidah secara ucapan, perbuatan dan keyakinan adalah apa
yang dilakukan sebagian manusia pada hari ini di sisi kuburan
orang-orang shalih dengan berdoa dan istighatsah (minta tolong ketika
dalam kesusahan) kepada mereka. Siapa yang melakukan hal ini maka ia
diminta bertaubat. Bila ia kembali kepada al-haq, maka ia dibiarkan
tetap hidup. Namun bila enggan bertaubat, maka ia dibunuh sebagai
orang yang murtad.
Murtad karena Ragu (Riddah bisy Syak)
Contohnya
orang yang berkata: “Aku tidak tahu apakah Allah itu sesembahan yang
benar atau tidak.” Atau ia berkata: “Aku tidak tahu apakah Muhammad
itu jujur atau dusta.” Orang yang seperti ini kafir. Atau ia
menyatakan: “Aku tidak tahu apakah hari kebangkitan itu ada atau
tidak.” Orang ini kafir dan diminta agar ia bertaubat. Bila enggan
maka ia dibunuh.
Adapun
bila ia tinggal jauh dari kaum muslimin seperti di hutan belantara
yang terpencil (kemudian ia melakukan perkara kekufuran), maka
diterangkan kepadanya. Namun bila setelah mendapat penerangan ia tetap
terus menerus dalam perbuatan kekufurannya, maka ia dibunuh. Demikian
pula orang yang meragukan salah satu dari rukun Islam.
Demikianlah pembatal-pembatal keislaman yang membuat pelakunya murtad dan bila enggan bertaubat maka ia dibunuh.
Jenis
kedua, perkara-perkara yang tidak menjadikan pelakunya kafir namun
melemahkan keimanannya seperti makan riba, melakukan
perbuatan-perbuatan yang diharamkan seperti zina, bid’ah dan selainnya.
Demikian pula melakukan perayaan maulid nabi yang diada-adakan oleh
manusia sejak abad keempat hijriyyah. Hal ini melemahkan aqidah,
terkecuali bila dalam perayaan maulid tersebut dilakukan istighatsah
kepada Rasulullah shallallahu alaihi wasallam, maka perbuatan ini bid’ah
yang termasuk dalam jenis yang pertama dan mengeluarkan pelakunya
dari agama Islam.
Termasuk
pula dalam jenis yang kedua ini adalah perbuatan thiyarah (menganggap
sial dengan burung ataupun tanda-tanda lainnya) sebagaimana diperbuat
oleh orang-orang jahiliyyah yang Allah ta`ala telah membantah mereka
dalam firman-Nya:
قَالُوْا اطَّيَّرْنَا بِكَ وَبِمَن مَّعَكَ قَالَ طَائِرُكُمْ عِنْدَ اللهِ بَلْ أَنْتُمْ قَوْمٌ تُفْتَنُوْنَ
“Mereka
mengatakan: kami ditimpa kesialan karenamu dan karena orang-orang
yang menyertaimu. Nabi berkata: Bahkan kesialan kalian itu datangnya
dari sisi Allah akan tetapi kalian adalah orang-orang yang terfitnah.”
(An-Naml: 47)
Thiyarah adalah syirik duna kufrin (yang tidak mengeluarkan dari agama Islam).
Demikian pula perayaan Isra Mi’raj, padahal Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah menyatakan:
((مَنْ أَحْدَثَ فِي أَمْرِناَ هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ))
“Siapa
yang mengada-adakan dalam perkara kami ini apa yang bukan bagian
darinya maka perkara yang diada-adakan itu tertolak”. (HR. Al-Bukhari
dan Muslim)
0 komentar:
Posting Komentar