Kasus naiknya harga barang, tidak hanya terjadi di zaman sekarang. Fenomena ini bahkan pernah terjadi di zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Disebutkan dalam riwayat bahwa di zaman sahabat pernah terjadi kenaikan harga. Mereka pun mendatangi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan menyampaikan masalahnya. Mereka mengatakan,
“Wahai Rasulullah, harga-harga barang banyak yang naik, maka tetapkan keputusan yang mengatur harga barang.”Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab,
“Sesungguhnya Allah adalah Dzat yang menetapkan harga, yang menyempitkan dan melapangkan rezeki, Sang Pemberi rezeki. Sementara aku berharap bisa berjumpa dengan Allah dalam keadaan tidak ada seorang pun dari kalian yang menuntutku disebabkan kezalimanku dalam urusan darah maupun harta.” (HR. Ahmad, Abu Daud, Turmudzi, Ibnu Majah, dan dishahihkan Al-Albani)
Pertama, sesungguhnya Allah Dzat yang menakdirkan semua harga
Dengan memahami hal ini, setidaknya kita berusaha mengedepankan sikap tunduk kepada takdir, dalam arti tidak terlalu bingung dalam menghadapi kenaikan harga, apalagi harus stres atau bahkan bunuh diri. Semua sikap ini bukan solusi, tapi justru menambah beban dan memperparah keadaan.
Kedua, sesungguhnya kenaikan harga tidak mempengaruhi rezeki seseorang
Bagian penting yang patut kita yakini bahwa rezeki kita telah ditentukan oleh Allah‘Azza wa Jalla. Jatah rezeki yang Allah tetapkan tidak akan bertambah maupun berkurang. Meskipun, masyarakat Indonesia diguncang dengan kenaikan harga barang, itu sama sekali tidak akan menggeser jatah rezeki mereka.
Allah subhanahu wata’ala menyatakan,
“Andaikan Allah melapangkan rezeki kepada hamba-hamba-Nya tentulah mereka akan melampaui batas di muka bumi, tetapi Allah menurunkan apa yang dikehendaki-Nya dengan ukuran. Sesungguhnya Dia Maha Mengetahui (keadaan) hamba-hamba-Nya lagi Maha Melihat.” (QS. As-Syura: 27)
Ibnu Katsir mengatakan,
“Maksud ayat, Allah memberi rezeki mereka sesuai dengan apa yang Allah pilihkan, yang mengandung maslahat bagi mereka. Dan Allah Maha Tahu hal itu, sehingga Allah memberikan kekayaan kepada orang yang layak untuk kaya, dan Allah menjadikan miskin sebagian orang yang layak untuk miskin.” (Tafsir Alquran al-Adzim, 7:206)
Terkait dengan hal ini, jauh-jauh hari, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengingatkan umatnya agar jangan sampai mereka merasa rezekinya terlambat atau jatah rezekinya serat. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Wahai sekalian manusia, sesungguhnya kalian tidak akan mati sampai sempurna jatah rezekinya, karena itu, jangan kalian merasa rezeki kalian terhambat dan bertakwalah kepada Allah, wahai sekalian manusia. Carilah rezeki dengan baik, ambil yang halal dan tinggalkan yang haram.” (HR. Baihaqi, dishahihkan Hakim dalam Al-Mustadrak dan disepakati Ad-Dzahabi)
Setelah memahami hal ini, seharusnya tidak ada lagi yang namanya orang stres berlebihan ketika mengalami ujian ekonomi. Apapun ujian yang dialami manusia, sama sekali tidak akan mengurangi jatah rezekinya.
Namun satu hal yang perlu Anda catat tebal-tebal, hadis ini sama sekali bukan untuk memotivasi Anda agar tidak bekerja atau meninggalkan aktivitas mencari rezeki. Bukan demikian maksudnya. Kita tidak tahu seberapa jatah rezeki kita, sehingga tidak ada seorang pun yang mogok kerja, meninggalkan anak istri terlunta-lunta, karena latar belakang keyakinan bahwa rezekinya sudah dipatok harganya. Ini jelas pemahaman yang salah.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengingatkan demikian, tujuannya agar manusia tidak terlalu ambisius dengan dunia, sampai harus melanggar yang dilarang syariat. Kemudian ketika terjadi musibah, manusia tidak sedih yang berlebihan, apalagi harus stres.
Sesungguhnya segala keresahan dan kesedihan yang dialami kaum muslimin adalah ujian dari Allah. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Jika ada yang menimpa seorang muslim, baik berupa rasa capek, sakit, kebingunan, kesedihan, kezhaliman orang lain, kesempitan hati, sampai duri yang menancap di badannya maka Allah akan jadikan semua itu sebagai penghapus dosa-dosanya.” (HR. Bukhari)
Mengingat hadis ini, sikap selanjutnya terkait kenaikan BBM: dilihat dari sudut pandang takdir, kenaikan BBM adalah musibah yang datang dari Allah Subhanahu wa Ta’ala, untuk menguji kaum muslimin, sekaligus menjadi penghapus dosa mereka. Keresahan yang mereka alami, hakikatnya adalah penghapus dosa yang pernah mereka lakukan. Siapa yang bersabar dan meniti jalan kebenaran maka Allah akan hapuskan dosa-dosanya dan akan Allah berikan jalan keluar terbaik.
Allah subhanahu wata’ala berfirman,
“Siapa yang bertakwa kepada Allah, maka akan Allah berikan jalan keluar. Allah akan berikan rezeki dari jalur yang tidak mereka perhitungkan..” (QS. At-Thalaq: 2–3)
Dalam memahami konsep musibah, sikap yang harus kita kedepankan adalah menuduh pribadi kita sebagai sumber masalahnya. Masing-masing individu menuding dirinya bahwa bisa jadi musibah ini disebabkan karena perbuatan maksiat yang pernah kita lakukan. Sebagaimana yang Allah firmankan,
“Segala bentuk musibah yang menimpa kalian, semuanya disebabkan ulah tangan (maksiat) kalian. Dan Allah telah memberi ampunan untuk banyak dosa.” (QS. As-Syuro: 30)
Ibnu katsir mengatakan,
“Maksud ayat, musibah apapun yang menimpa kalian – wahai manusia – semuanya disebabkan maksiat yang kalian lakukan.” (Tafsir Ibn Katsir, 2:207)
Setelah kita memahami hal ini, sikap selanjutnya yang harus kita lakukan adalah memperbanyak taubat dan memohon ampunan kepada Allah. Sembari berharap agar Allah mengampuni kita dan memberikan penyelesaian terbaik bagi semuanya. Karena alasan inilah, para ulama selalu mengembalikan adanya musibah dengan nasihat taubat. Dikisahkan, dulu ada seorang ulama yang menerima pengaduan dari masyarakat; Harga-harga barang pada naik. Beliau lalu menasihatkan,
“Turunkan harga dengan banyak istighfar.”
Nasihat beliau ini didasari firman Allah di surat Nuh,
“Mohonlah ampun kepada Tuhanmu, -sesungguhnya Dia adalah Maha Pengampun-, niscaya Dia akan mengirimkan hujan kepadamu dengan lebat, dan membanyakkan harta dan anak-anakmu, dan mengadakan untukmu kebun-kebun dan mengadakan (pula di dalamnya) untukmu sungai-sungai.” (QS. Nuh: 10 – 12)
Ayat ini merupakan jaminan, orang yang banyak memohon ampunan, akan Allah lapangkan rezeki dan keturunannya. Tapi perlu Anda catat tebal-tebal, ini hanya bisa dipahami dengan bahasa iman. Selama seseorang masih mengedepankan logika, selama itu pula dia akan kesulitan untuk menerimanya.
Contoh nyata penerapan adab ini, diterapkan Nabi Yunus, di saat beliau berada dalam kegelapan perut ikan. Nabi Yunus merengek, memohon ampun kepada Allah,
“Dia menyeru dalam kegelapan, dengan mengucapkan: Laa ilaaha illaa anta, subhaanak. Innii kuntu minad dzaalimiin. (Tidak ada Tuhan yang berhak disembah selain Engkau, Maha Suci Engkau. Sesungguhnya aku termasuk orang yang zhalim).” (QS. Al-Anbiya: 87)
Adab selanjutnya, tetap jaga hati untuk husnu-zhan kepada Allah
Apapun yang menimpa diri Anda, jangan sampai menggiring Anda untuk berburuk sangka kepada Allah. Karena sekalipun itu musibah, hakikatnya Allah hendak memberikan kebaikan bagi Anda. Dengan musibah ini, Allah hendak menghapuskan dosa Anda, dan dengan musibah ini Allah hendak meninggikan derajat Anda. Jadi, apapun yang Allah berikan kepada Anda, hakikatnya untuk kebaikan Anda. Perhatikan motivasi yang diberikan sahabat Ibnu Mas’ud berikut,
“Demi Allah, Dzat yang tidak ada tuhan yang berhak disembah selain Dia. Tidak ada pemberian untuk hamba beriman yang lebih baik dari pada husnu-zhan kepada Allah. Demi Allah, jika seorang hamba berbaik sangka kepada Allah, maka pasti Allah akan memberikan sesuai persangkaannya. Karena semua kebaikan ada di tangan Allah.” (HR. Ibnu Abid Dunya)
Bagaimana agar bisa disebut husnu-zhan kepada Allah? Caranya, paksa hati Anda untuk meyakini bahwa ujian yang saat ini sedang menimpa Anda adalah penghapus dosa Anda. Jaga hati dan lisan baik-baik, jangan sampai mengucapkan sesuatu yang mengundang murka Allah. Hindari perasaan, Allah tidak adil, Allah zhalim, Allah mengurangi jatah rezekiku, dimana kemurahan Allah,… dst. Hindari.., jangan sampai kita benci ketetapan Allah. Hadis dari Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Besarnya balasan itu sebanding dengan besarnya ujian. Sesungguhnya, apabila Allah mencintai seseorang maka Dia akan memberikan ujian kepadanya. Siapa yang ridha, dia akan mendapatkan ridha Allah dan siapa yang benci, dia akan mendapatkan kebencian Allah.” (HR. Turmudzi, Ibn Majah, dan dishahihkan Al-Albani)
Al-Mubarokfuri menjelaskan, “Siapa yang membenci ujian yang datang dari Allah, tidak rela terhadap ketetapan dari-Nya maka dia akan mendapatkan kemurkaan dari Allah dan siksa yang menyakitkan. Sebagai balasan terhadap sikap dia menentang takdir.” (Tuhfatul Ahwadzi, 7:65)
Termasuk bagian dari sikap husnu-zhan kepada Allah adalah memperbanyak berdoa dan berharap, agar Allah memberikan jalan keluar terbaik baginya. Dia tidak bosan-bosan untuk bersimpuh di hadapan Rabnya, meminta dan memohon agar Allah memberikan jalan keluar terbaik baginya. Inilah sikap yang dicontohkan para nabi, ketika mendapatkan ujian dari Allah, disamping berusaha untuk sabar dalam menerima ujian ini. Perhatikan Nabi Ayyub, di saat tumpukan musibah dunia yang menimpanya, beliau mengadu kepada Allah:
“Sesungguhnya aku sedang tertimpa musibah, dan Engkau Dzat yang sangat belas kasihan.” (QS. Al-Anbiya: 83)
Apa doa yang harus kita baca?
Kita bisa membaca semua doa yang isinya kebaikan. Setelah kita memohon ampunan kepada Allah, berdoalah memohon kebaikan untuk dunia dan akhirat. Kita bisa berdoa dengan bahasa Indonesia atau bahasa apa pun yang bisa Anda pahami.
Adab penting!
Hindari, menyebut-nyebut kenaikan harga di depan tamu Anda atau teman Anda.
Abul Aina’ menceritakan,
“Suatu ketika ada seseorang yang bertamu di rumah temannya. Ketika itu sedang musim paceklik. Si tuan rumah sering sekali menyebut-nyebut kenaikan harga. Mendengar hal ini, si tamu lantas mengangkat tangannya dan mengatakan, ‘Bukan termasuk sikap terhormat, menyebut-nyebut kenaikan harga di depan tamu, ketika sedang menghidangkan makanan!’ Tuan rumah kemudian minta maaf, dan memohon kepada tamu agar memakan hidangannya. Namun si tamu tidak menyentuhnya sama sekali, kemudian dia pergi keesokan harinya.” (Adab Muwakalah, Hal. 7)
0 komentar:
Posting Komentar